Energi Seorang Wanita

Seperti biasanya, Sabtu Malam “arisan” dimulai lagi. Jiwa-jiwa yang resah dan lemah berkumpul lagi setelah seminggu melewati berbagai rintangan yang menggerus iman dan ketakwaan. Ibarat sebuah baterai HP maka sekarang waktunya untuk men-charge keimanan yang mulai low bat.
Malam itu, Guru tercintaku naik ke atas belakangan seperti biasanya. Setelah tilawah Al-Qur’an yang menyejukkan jiwa dan sebuah tausiyah dari salah seorang temanku, guru ku itu lalu memulai “arisan” ini dengan tema untuk minggu ini adalah Al-Iman. Sebuah pondasi awal manusia yang mengaku beriman kepada Allah. Mutiara yang berada di dalam hati manusia, sehingga berbekal iman itulah manusia bisa membedakan mana yang baik dan buruk.
Guru ku mengajarkan makna Al-Iman itu dengan sangat baik sekali. Terpekur dan terhanyut kami akan materi yang dibawakannya. Walaupun beliau dalam kondisi yang kurang sehat, tapi sedikit pun kharisma mengajarnya tak pudar. Hati kami pun terhujam untuk semakin menambah rasa keimanan kami.
Sesi terakhir sebelum “arisan” selesai adalah sesi curhat. Satu per satu menceritakan kegiatan mereka pada seminggu ini. Banyak inspirasi baru yang aku dapatkan dari tukar pendapat ini. Termasuk yang pasti dari guruku ini saat dia bercerita tentang istrinya.
“ Masya Allah, Akhi, minggu ini betapa saya diingatkan kembali akan kekuatan seorang wanita. Istri saya yang mengingatkan itu semua. Dalam kondisi beliau yang sedang sakit, beliau masih mampu untuk mengurus ketiga anak saya yang masih kecil-kecil tanpa meninggalkan pekerjaan rumah yang lainnya. Beliau mencuci baju, menyetrika, mengasuh anak, dan lainnya. Saya pun membantu beliau juga Akhi, tapi rasanya energi yang dipunyai oleh seorang wanita itu lebih banyak ketimbang kita para ikhwan. Maka dari itu, jika beliau benar-benar sakit maka semua pekerjaan jadi tak terurus dengan benar. Berbeda dengan jika saya yang sakit, beliau pasti masih mampu mengurus segalanya. Subhanallah…Itulah kekuatan seorang wanita yang mungkin sebagian orang menganggapnya sebagai makhluk yang lemah,” guruku menjelaskan dengan penuh rasa kebanggaan.
Inspirasi pun bermunculan di dalam pikiranku ini. Banyak hal yang ingin kugambarkan tentang seorang wanita. Tentang energi seorang wanita. Terbayang beberapa wanita yang selintas tampak lemah tapi sebenarnya menyimpan energi yang bisa mengalahkan laki-laki.
Energi seorang wanita bisa dicontohkan oleh seorang Ibu. Selama kurang lebih 9 bulan beliau membawa calon anak manusia di dalam tubuhnya. Makan mereka menjadi hitungan untuk dua orang, minum mereka pun juga seperti itu. Kemana-mana beban berat itu dibawa oleh tubuh mereka yang ringkih. Ke kamar mandi, ke pasar, ke kantor, duduk, berdiri, mandi, dan lainnya beban itu tak pernah mereka tinggalkan. Mereka pun harus memilih-milih makanan mereka, meminum segala macam suplemen yang mungkin mereka tidak sukai, merelakan tubuh mereka menjadi tidak seperti biasanya, merasakan muntah-muntah yang tidak mengenakan, mengalami pembengkakan pada beberapa bagian tubuh, dan lainnya.
Pada saat waktunya melahirkan pun energi seorang wanita yang terkira besarnya. Pada saat di ruang persalinan yang menentukan hidup dan mati mereka serta jihad mereka. Merasakan betapa sakitnya saat harus mengeluarkan seorang bayi mungil dari dalam tubuh mereka. Menjerit-jerit kesakitan saat ari-ari dipotong tanpa harus disuntik bius terlebih dahulu. Belum lagi kalau bayi yang akan dilahirkan mengalami kesulitan-kesulitan untuk dikeluarkan (seperti sungsang, dll), energi mereka pun terkuras kembali. Atau bagaimana bila mereka harus merasakan operasi caesar yang juga tak kalah sakitnya saat tubuh mereka harus dibelah. Masya Allah……Tak heran jika Allah menghitung kematian seorang wanita di ruang persalinan sebagai mati syahid.
Setelah itu beberapa bulan ke depan seorang Ibu harus merelakan waktu-waktu tidur nyenyak mereka terenggut. Bangun di tengah malam bukanlah hal yang istimewa lagi. Dengan penuh cinta dan tanpa lelah seorang wanita merawat bayinya. Belum lagi mereka juga harus mengurus anak-anak yang lain dan pekerjaan rumah tangga mereka. Bagi para aktivis dakwah, mereka pun harus segera kembali ke gelanggang dakwah. Begitu besar energi seorang wanita.
Itu baru dari segi melahirkan, belum lagi proses-proses yang lain. Tatkala aku pernah bersepeda menuju Parangtritis Yogjakarta, aku pernah melihat para wanita tua dan setengah baya mengendarai sepeda ontel tua dengan membawa kayu-kayu kering yang tinggi menggunung di belakangnya. Saat aku mampir ke pasar Beringharjo, kulihat nenek-nenek tua dengan semangatnya mengangkut berkarung-karung beras bolak-balik. Pernah juga kutemui seorang ibu-ibu setengah baya membawa tumpukan kardus yang sangat banyak di atas kepala mereka saat kuingin berangkat “arisan”. Berapa banyak juga wanita yang selalu menggendong anak-anak mereka saat sedang bekerja home industri di desa-desa.
Energi seorang wanita yang dibicarakan oleh guruku juga mengingatkan aku akan wanita-wanita penjaja makanan langgananku. Pada waktu aku masih SD dulu, seorang nenek-nenek tua dengan tubuh bungkuknya selalu melewati rumahku untuk berjualan kue pisang buatannya. Aku dan keluargaku terkadang suka membelinya. Pada saat dewasa tak kubayangkan betapa kuatnya nenek ini, berjalan jauh mengelilingi perkampungan untuk menjajakan dagangannya demi sesuap nasi (jadi kangen nih sama nenek itu…). Pada saat aku kuliah tingkat pertama, setiap pagi hari ada suara yang selalu mengganggu tidurku. Suara seorang wanita yang menjajakan donat dan rempeyek. Saat kutahu, ternyata wanita itu adalah seorang akhwat yang dulu merupakan tetangga jauhku. Dia bercerita pada ibu dan kakakku kalau dia sekarang berjualan demi menghidupi dirinya dan anak-anaknya setelah suaminya menikah lagi tanpa persetujuannya lalu meninggalkannya. Demi menghidupi keluarganya dia rela menempuh jalan berkilo-kilo menjajakan dagangannya. Bagi diriku pribadi melihat seorang wanita (baik itu tua renta ataupun tidak) berjuang seorang diri timbul rasa kasihan di lubuk sanubariku. Ingin aku menjadi orang kaya dan bisa menghidupi mereka.
Jika sudah membayangkan seorang wanita maka aku akan terbayang juga dengan Ibuku. Seorang wanita tua yang sudah memasuki usia 70 tahun tapi masih memiliki energi besar untuk mengurus keluarganya. Dia masih saja mencucikan bajuku walaupun berkali-kali sudah kubilang biar aku saja yang melakukannya. Tapi di sela-sela omelannya pada diriku yang selalu membiarkan pakaianku berhari-hari hanya terendam dalam ember, dia masih saja mencucikannya, wlaaupun dia sudah pernah bilang tidak mau mencucikan bajuku lagi. Waktu aku kuliah di Yogja dulu aku tahu rasanya mencuci dan menyetrika baju yang sangat berat sekali. Tapi begitulah Ibuku, selalu cinta pada anak-anaknya. Energinya seolah tak pernah padam. Bahkan dalam sakitnya pun, sama seperti yang diceritakan oleh guruku, dia masih juga sempat mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tuh, jadi kangen deh sama Ibuku. Hiks…hiks…hiks…
Usai “arisan” malam itu sebuah asa terpatri di dalam hatiku untuk lebih menghargai seorang wanita, memuliakan mereka dan menomorsatukan mereka. Terbayang lagi wajah-wajah para wanita perkasa yang selama ini selalu menemani hidupku. Ibuku, kakakku, pedagang langgananku, saudaraku, dan yang lainnya. Ya Allah, energi yang telah Kau berikan pada mereka semua begitu besar dan seolah tak ada habisnya. Jika kelak mereka meninggal dunia, berikan surga yang besar untuk mereka dan pahala yang tiada habisnya. Walaupun kuyakin, tanpa kuberdoa, Kau telah memberikan seperti apa yang kuminta. Terima Kasih Allah……Terima Kasih para wanita perkasa, atas energimu yang seolah tiada habisnya. Semoga Allah meridhoi. Amiiin.***(yas)/islamedia

Komentar