Cita-Citaku Menjadi Suami yang Baik

Setelah berjuang sekian tahun, akhirnya Yusuf sukses menjadi pengusaha. Berpenghasilan ratusan juta rupiah dalam sebulan, tetapi ada satu yang tak berubah. Ia masih setia dengan seorang istri, hal itu membuat Ahmad-teman lamanya sewaktu di pesantren- tertarik untuk menanyakan alasan mengapa Yusuf tidak mau berpoligami padahal syarat-syarat untuk berpoligami sudah lebih dari cukup menurut pemikirannya.


"Aku heran, dirimu masih muda dan tampan. Di kantor dirimu mampu adil, memberi kesempatan kepada karyawan untuk ibadah, mampu memberi gaji yang lebih dari cukup, serta menjaga karyawan agar merasa nyaman bekerja. Ke empat hal tersebut secara tidak langsung menerapkan prinsip poligami, yakni bersikap adil, aman dari lalai beribadah kepada Allah, mampu menafkahi, serta mampu menjaga para istri agar terlindungi, tetapi mengapa dirimu tak mau berpoligami?" Tanya Ahmad dengan raut muka serius.
"Engkau ingat tidak, dahulu sewaktu kita di pesantren cita-citaku apa?" Yusuf malah balik bertanya.

"Menjadi pengusaha sukses dan suami yang baik," sahut Ahmad.
"Benar, itulah cita-citaku. Jadi alasanku tidak berpoligami itu sederhana saja, karena aku bercita-cita mejadi suami yang baik dan bagiku suami yang baik tidak akan membagi cinta serta kasihsayangnya kepada perempuan lain dengan alasan apa pun."
"Bukankah dirimu mampu bersikap adil? Aku tahu betul karaktermu, jadi bertindak adil untuk istri-istrimu itu sangat bisa diwujudkan dalam perbuatan."

"Tolok ukur adil itu sangat subjektif. Sukar dicari pijakan keadilan yang sebenar adil, sehingga aku lebih memilih menerapkan sistem poligami dalam dunia kerja daripada rumah tangga. Bukankah hati mudah terbolak-balik oleh keadaan, apabila suatu ketika saat memiliki istri lebih dari satu kemudian keadaan membuat hatiku memihak pada salah satunya, celakalah diriku sebagai manusia yang berharap keridhaan-Nya."
"Buktinya dirimu mampu menerapkan sistem poligami dalam dunia kerja hingga jadi pengusaha."

"Itulah indahnya Islam, ketika kita mampu menyerap pengetahuan secara mendalam sebenarnya setiap ilmu yang terkandung dalam ajarannya bisa dimanifestasikan dalam bentuk lain. Poligami mengajarkan empat prinsip usaha: keadilan, kesadaran bertanggungjawab, ketaatan, dan keselarasan, akhirnya diriku mencobanya dan berhasil. Tetapi pernikahan dan dunia kerja itu jauh berbeda, pernikahan jangan sampai gagal sebab Allah sangat membenci perceraian, apabila diriku berpoligami dalam rumah tangga lalu lebih condong pada salah sau istriku sehingga istriku yang satunya minta cerai tentu buruklah sekali akhlakku di hadapan Allah."
"Benar juga apa katamu, sungguh dirimu memang tidak gegabah dalam menyikapi sebuah pengetahuan meski sudah jelas dalilnya. Tetapi dirimu tidak anti poligami, kan?"

"Astagfirullahhalaadzim, tidak! Poligami itu tidak dilarang, namun aku membentengi diri karena merasa belum sanggup melakukannya. Sebab Nabi Muhammad bersabda, 'Siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring [*].' Aku yakin bersyukur dan berbahagia dengan satu istri akan lebih nikmat, sebab inti dari pernikahan ialah menyempurnakan separuh agama."

Ahmad tersenyum. Dari dulu sahabatnya tidak berubah, tetap teguh dalam berprinsip. Benar adanya, cita-cita menjadi suami yang baik itu mudah diucapkan namun apabila dipahami lebih seksama butuh kerja keras untuk mewujudkan.
Penulis: Arief Siddiq Razaan
[*] HR. Abu Dawud, An-Nasa-i, At-Tirmidzi

Komentar